Marriage

Kasus perceraian selebriti selalu menjadi topik utama setiap infotainment. Kasus-kasus selebriti saja sudah banyak, berapa banyak lagi yang tidak diketahui publik? Kekerasan rumah tangga selalu ada, kata-kata selingkuh sudah menjadi vocabulary sehari-hari anak-anak SD. Dunia ini sepertinya menanamkan suatu image baru terhadap perkawinan. Marriage menjadi sesuatu yang nampak indah diawal-awal dan menyakitkan setelah itu.

 

Should I marriage?

Akibatnya banyak orang bertanya, “Haruskah saya menikah?”  Jawabannya bukanlah boleh atau tidak, atau harus atau boleh tidak. Setiap orang memiliki panggilan hidup masing-masing. Bila Tuhan memanggilnya untuk hidup selibat, maka ia memilih untuk mempersembahkan seluruh hidupnya melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan dan melayani umat-Nya di bumi ini. Tetapi selain itu, Tuhan juga memanggil anak-anak-Nya untuk membangun keluarga, melahirkan dan membesarkan anak dan juga melayani Tuhan dalam keluarganya.

Pilihan untuk tidak menikah hanya boleh dipilih bila seseorang sungguh bertanya pada dirinya sendiri dan bertanya kepada Tuhan jika ia terpanggil untuk hidup selibat. Dan bukan merupakan kesimpulan dari kasus-kasus rumah tangga yang ia alami atau ia dengar. God created marriage and He wants u to have a happy marriage. Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anak-Nya.
Why marriage should be spiritual?

Pernikahan merupakan sesuatu yang kudus, sakral. Tuhan menciptakan pernikahan antara pria dan wanita di bumi ini dengan menaruh suatu makna besar dibaliknya. Yohanes Paulus 2 mengatakan bahwa dalam pernikahan, Tuhan menyampaikan misteri ke-Ilahi-an-Nya. Pernikahan menjadi sesuatu yang spiritual, bukan sekedar persatuan 2 insan semata.

Pernikahan pria dan wanita menjadi analogi pernikahan Tuhan dengan Gereja-Nya, mempelai wanita. Diantaranya terdapat kegiatan saling mencintai. Pria mencintai wanita dan wanita mencintai pria. Cinta yang seperti apa? Yaitu seperti yang dikatakan Efesus 5:25, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”  Dengan kata lain seperti cinta yang diberikan disepanjang Kalvari.

Maka, pernikahan yang otentik haruslah dimulai dengan menyadari panggilan setiap manusia, yaitu untuk mencintai. Tubuh kita diciptakan Tuhan untuk dicintai dan mencintai dengan cinta yang sempurna, yaitu cinta yang total, berbuah, setia dan bebas.

Maka pernikahan tidak pernah antara sesama jenis, karena tidak akan pernah berbuah. Maka, hubungan seksual tidak boleh dilakukan sebelum menikah, karena tidak menunjukkan totalitas cinta itu. Maka, pernikahan itu adalah satu, setia untuk selamanya. Dan bukanlah suatu paksaan.

Dalam pernikahan, pria memilih istrinya dan mencintainya seperti Tuhan mencintai Gereja-Nya, dengan cinta yang penuh pengorbanan, pengampunan dan kesetiaan yang tak terbatas. Pernikahan menjadi tempat bagi pria dan wanita untuk membayangkan dan mengecap cinta agape yang Tuhan berikan bagi umat-Nya. Dan Sakramen Perkawinan menjadi suatu tanda yang membuat cinta Tuhan yang tidak kelihatan itu menjadi kelihatan.

Marriage : hell or heaven?

Kembali kepada kenyataan, Sakramen Perkawinan hanya seperti suatu kewajiban semata jika ingin menikah. Tidak sedikit pasangan-pasangan Katolik yang bubar. Pernikahan bagi anak muda hanya nampak seperti neraka karena bukannya cinta tetapi benci yang ada ditengah-tengahnya. Semua ini adalah tanda bahwa ada pergeseran makna pernikahan yang sesungguhnya.  Pergeseran ini terjadi karena banyaknya orang-orang yang lupa untuk saling mencintai sepenuhnya, lupa untuk mengampuni, lupa untuk setia dan lupa membawa keluarganya menjadi keluarga yang kudus dan berkenan bagi Tuhan.

Pernikahan-pernikahan yang selama ini kita lihat mungkin tidak sesuai harapan kita. Mungkin orang tua kita bercerai? Mungkin ayah atau ibu kita meninggalkan kita begitu saja? Mungkin orang tua saya terus melakukan KDRT di rumah? Semua itu dapat terjadi. Tetapi bila kita terus menyatukan diri dan keluarga kita dengan cinta sejati dari Tuhan, kita akan terus diingatkan dan dipenuhi serta dimampukannya. Dan apa yang terjadi pada orang tua dan generasi diatas kita sekarang biarlah terjadi, tetapi masa depan generasi ini dan bangsa ini berada ditangan kita. Kitalah yang dapat mengubah kembali image-image bahwa pernikahan itu seperti ‘hell’ menjadi pernikahan adalah ‘heaven’.
Marilah kita mulai bertanya, apakah saya terpanggil untuk menikah? Apakah pandangan saya tentang pernikahan sudah benar? Apakah saya sudah membawa keluarga saya semakin kudus? Dan apakah saya sudah mencintai atau siap untuk mencintai psangan dan keluarga saya seperti dalam Efesus 5:22-33???

Leave a comment